Senin, Juni 13, 2016
0 comments

AHMADIYAH MASUK MEDAN, DIAJAK DEBAT TERBUKA DI BIOSKOP (1934)

Senin, Juni 13, 2016
AHMADIYAH MASUK MEDAN, DIAJAK DEBAT TERBUKA DI BIOSKOP (1934), DIIKUTI RIBUAN ORANG TANPA RUSUH : CERMIN KEARIFAN ULAMA DAN MEDIA DI MASA LALU?

Seperti biasa patik berburu di arsip dan perpustakaan, kadang dapat yang dicari kadang yang tidak dicari tapi menarik gak di duga dapat.  Buku langka yang gak di duga ini patik dapat secara kebetulan di arsip koleksi buku-buku Indonesia terlengkap di dunia yang disimpan di KITLV Leiden. Ini buku langka karena di Indonesia seperti mustahil bisa patik temukan. Termasuk pada keluarga Tengkoe Fachroeddin ulama dan tokoh  yang dibicarakan  dalam buku ini. Dr. Tengku Farida, rekan patik dosen UIN SU yang merupakan kemanakan Tengkoe Fachroeddin pergi sana-sini mengacak acak lemari keluarganya tak juga bisa temukan manuskrip sangat penting bagi sejarah cendekiawan Islam ini. Ya belas kasihan patik berikanlah copynya sebelum dia minta ke patik (ha ha ha, tergelak patik). Buku ini berkisah tentang tahun 1934 ada kecemasan dikalangan Islam di Sumatera Timur akan meluasnya ajaran Ahmadiyah di kawasan ini. Akan tetapi kecemasan pada Ahmadiyah di Sumatera Timur itu patik lihat tidak menimbulkan pelarangan apa lagi pengusiran dan penyerangan pada pimpinan atau jamaah aliran ini. Kekhawatiran meluasnya Ahmadiyah di Sumatera Timur uniknya patik lihat oleh para ulama coba di hadapi melalui debat terbuka di Medan dengan ulama-ulama Ahmadiyah yang dihadiri oleh ribuan orang, berlangsung dalam dua putaran, yakni tanggal 15 dan 22 Juli 1934.  Kagum sekali patik melihat Debat ini, yang merupakan acara yang sangat elegan, cerdas dan bermartabat yang terjadi tiga perempat abad yang lalu di Medan. 

Sekalipun debat terbuka itu dihadiri oleh sebagian besar umat yang bukan Ahmadiyah dan dilangsungkan di kawasan dengan penduduk mayoritas bukan Ahmadiyah,  tapi tidak terjadi insiden apapun baik menjelang maupun pasca debat yang sangat serius itu. Konflik antar aliran Ahmadiyah yang ingin masuk ke kawasan yang bukan Ahmadiyah diselesaikan dengan arif melalui debat terbuka. Andainya patik datang dari masa kini ke masa lalu dan hadiri perdebatan di dalam gedung bioskop itu , betapa menegangkan dan stresnya membayangkan bakal terjadi kerusuhan. Tapi semuanya berjalan lancar. Mengapa hal ini bisa berlangsung di masa lalu? Bisakah dan perlukan cara seperti itu dirancang untuk masa kini?  

Debat terbuka ini (dipakai dalam bahasa Belanda Openbaar-Debat) dilakukan dengan menghadirkan ulama terkemuka dari Serdang  yang sekaligus ketua Majelis Syar'i Kesultanan Serdang yakni Tengkoe Fachroeddin. Dari pihak Ahmadiyah didatangkan dua ulama yakni Mohammad Siddik dan Aboebakar Ayoeb. Perdebatan ini menurut  laporan Mangaradja Ihoetan dan Hadji Mahmoed Ismail Loebis   (1934) telah menggemparkan Sumatera Timur bahkan Tapanuli dan Aceh. Laporan Ihoetan dan Loebis berjudul "Openbaar-Debat Oetoesan Ahmadijah Qadian  contra Tengkoe Fachroeddin (Voorzitter Madjelis Sar'i Keradjaan Serdang)"  merupakan dokumen penting perdebatan dan  sejauh ini sebagai satu-satunya laporan yang ditemukan dan dijadikan dasar tulisan ini.

Dalam pengantar laporannya, Ihoetan dan Lubis menyebut tujuan buku ini di samping untuk menolak Ahmadiyah tapi juga adalah "oentoek pembatjaan bagi menambah ilmoe pengetahoean dalam soal agama Islam". Menurut laporan ini jumlah umat yang menghadiri perdebatan  sangat banyak, pada putaran  pertama 15 Juli 1934  (patik harap pembaca tidak terkejut) mencapai 3000 orang. Pada pukul setengah enam pagi (hebat kali awak bayangkannya)  umat dari berbagai penjuru sudah berdatangan ke gedung bioskop walau pintu baru dibuka pukul tujuh pagi dan perdebatan baru dimulai pukul delapan. Nama bioskopnya adalah Hok Hoa Bioscop terletak di Haakkastraat, Jl.Letjen M.T. Haryono Medan (patik bayangkan mungkin itu adalah yang namanya kemudian Bioskop Deli/Deli Teater, tak jauh dari kantor Medan Pos/Sinar Pembangunan,, tempat patik muda dulu jadi wartawan). Bioskop itu punya daya tampung 3000 orang sementara ada 5000 orang yang hadir, sehingga menurut laporan itu  2000 orang "poelang dengan sangat berkesal hati karena tiada beroleh tempat." Berpuluh mobil dan sepeda yang berdatangan membawa umat dari luar Medan seperti Perbaungan, Lubuk Pakam, Binjai  bahkan Aceh terpaksa pulang karena tidak mendapat tempat mengikuti perdebatan ini. (Sulit patik percaya ketika membacanya pertama kali di perpustakaan Leiden itu).

Usai acara debat putaran pertama, selama seminggu itu orang membicarakannya dimana-mana. Ini menjadi magnet meluapnya pengunjung pada putaran kedua (22 Juli 1934). Beribu-ribu orang hadir sebelum jam 6 pagi di Bioskop yang sama. (Ah betapa serunya andai patik jadi wartawan dan hadir 82 tahun lalu di bioskop itu). Daya tampung bioskop diperbesar dengan membuka koridor teras, dan itupun hanya bisa menambah sekitar 500 pengunjung  dari kapasitas sebelumnya. Pada debat putaran kedua ini total jumlah pengunjung yang bisa masuk gedung bioskop menyaksikan debat terbuka ini mencapai 3500 orang. Laporan ini menyebut (senyum sajalah pembaca, kagum boleh tapi jangan tertawa gak percaya) :  "Banjak jang hadir ditaksir  tidak koerang 3500 orang antaranja kira-kira 500 orang perempoean, sementara jang dioesir politie poelang karena ketiadaan tempat, tidak poela koerang dari 2500 orang. Soenggoeh kasihan melihat poeblik jang terpaksa poelang dengan berkesal hati, bahkan setengahnja dari mereka datang dari loear kota jang soedah memboeang ongkos seperloenja" (Mau pasang CCTV , siaran langsung TV, he he he belum pula ada waktu itu).

Dalam putaran kedua ini isi perdebatan mengarah ke eksistensi Mirza Gulam Ahmad  sebagai nabi. Tengkoe Fachroeddin menolak kehadiran nabi baru dengan berbagai argumen, rujukan ke Al-Qur'an dan hadis. Pihak Ahmadiyah mempertahankan pendirian (juga dengan argumen, rujukan Al-Qur'an dan hadis) bahwa Mirza Gulam Ahmad sah sebagai nabi. Di akhir perdebatan kedua belah pihak menyadari waktu 3 jam yang tersedia untuk berdebat ini tidak cukup untuk mendebat satu tema yang begitu besar dan rumit. Tengkoe Fachroeddin mengajak debat dilanjutkan dan pihak Ahmadyah menyatakan siap kapan saja berdebat lagi. Sungguh perdebatan yang sekarang hanya bisa (kalau pun bisa) pada level pascasarjana. Sementara masa itu belum ada satupun sarjana belum ada satupun universitas di sini.

Pelajaran penting yang bisa diambil dari pengalaman sejarah ini adalah bahwa kita pernah mencapai tingkat peradaban yang baik di masa lalu dalam menyelesaikan perbedaan pendapat di bidang aliran keagamaan. Para pengunjung perdebatan yang jumlahnya ribuan tidak kedengaran menghujat aliran keagamaan lain yang berseberangan. Bahkan ribuan yang terpaksa dihalau polisi untuk pulang meninggalkan tempat perdebatan, tidak melempari bioskop atau panitia yang tidak menyiapkan tempat untuk mereka.

Sekarang kita sulit menemukan perdebatan dan suasana seperti itu. Media belakangan melaporkan kecenderungan yang terjadi saat ini :  serang, bakar, musnahkan, usir, larang, penghujatan sebagai sesat,  aliran keagamaan lain. Apakah kita sekarang lebih buruk dan tidak lebih cerdas dari kita di masa lalu dalam menyelesaikan perbedaan aliran keagamaan? Apakah sebab-sebabnya bisa ditelusuri dari lembaga-lembaga keagamaan, institusi pemimpin keagamaan, negara dan  perubahan sosial di masyarakat yang telah memundurkan kita dalam debat yang bermutu? Rindu rasanya patik bisa jalan-jalan ke masa lalu (naik sepeda dari Tanjung Pura rumah andung patik  ke Medan) dan merasakan suasana perdebatan intelektual yang begitu hidup. (Ichwan Azhari)

0 comments:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Top