Rabu, Mei 25, 2016
0 comments

Apakah Agama Islam: Punyakah Konsep Kepemimpinan

Rabu, Mei 25, 2016
Islam: Punyakah Konsep Kepemimpinan?

Muhammad Nurdin

Salah satu yang menarik dari Pilgub DKI nanti adalah adanya seorang calon gubernur incumbent yang akan maju dalam pilgub nanti secara independen. Keindependenan calon tersebut memang menarik perhatian publik, sebab publik menilai bahwa non partisan akan mampu meminimalisir pesanan-pesanan yang kerap masif dari partai yang mengusung pasca terpilih. Banyak partai yang kebakaran jenggot. Apa jadinya kalau DKI, yang sebagai miniatur Indonesia ini, dipimpin oleh seorang gubernur non partisan. Mungkin, akan bermunculan lagi model-model pemimpin daerah yang seperti ini.

Ini adalah sebuah ancaman. Banyak cara yang digunakan untuk menggagalkan "ide gila" yang seandainya terjadi, akan merubah sejarah demokrasi negeri ini. Akhirnya, dibuatlah isu-isu murahan yang mencemari iklim demokrasi kita. Lagi-lagi, agama dijadikan kambing hitam. Dibuatlah jargon-jargon semisal, Jakarta akan sehat jika pemimpinnya berasal dari mayoritas umat. Atau, jangan mau dipimpin umat lain. Atau yang lebih ekstrim, jangan mau dipimpin orang kafir.

Ditelusurilah ayat-ayat Quran untuk mencari dukungan Tuhan. Dibentuklah keyakinan bahwa inilah amanat Tuhan bahwa kalian jangan mengambil pemimpin dari antara orang-orang kafir. Dengan alasan taat atas firman Tuhan mereka lupa bahwa masalah di negeri ini bukanlah masalah pemimpinnya siapa, beragama apa? Bagi mereka, Islam menggambarkan konsep kepepimpinan sebagai representasi kaum mayoritas. Mayoritas harus dipimpin dari mereka yang mayoritas dan minoritas tidak punya hak. Lalu, bagaimana dengan kesejahteraan umat? Jawaban yang kerap muncul, di dalam taat pasti ada berkat.

Kita perlu bertanya lagi, apakah kepemimpinan dalam bentuk merepresentasikan kaum mayoritas adalah ajaran yang Islam ajarkan? Apakah Islam tidak membenarkan mengambil seorang pemimpin dari minoritas, katakanlah non muslim? Seakan-akan terlihat bahwa urgensi kepemimpinan dalam Islam bukan terletak pada tujuan mensejahterakan umat tetapi lebih kepada upaya memverifikasi identitas keagamaan bakal calon pemimpin. Dalam kacamata modernitas, pandangan seperti ini sudah ketinggalan jaman. Sebab, kesejahteraan umat adalah fokus yang perlu mendapat porsi utama ketimbang identitas keagamaannya.

Kita yakini bersama bahwa Islam itu relevan di setiap jaman dan tempat. Berarti ajarannya mengikuti perkembangan jaman. Bagaimana Islam dapat dianggap relevan jika dalam menjelaskan konsep kepemimpinan masih bertumpu pada identitas keagamaan seorang calon pemimpin? Faktanya, negera-negara yang dianggap mayoritas muslim malah jauh dari kata sejahtera. Mereka hidup dalam kemisninan, perang yang tak berkesudahan juga pertengkaran sesama anak negeri. Sepertinya, ada yang keliru dalam penghayatan kita tentang konsep kepemimpinan dalam Islam. Kalau tidak ada kekeliruan, pasti Islam yang sebagai "rahmatan lil 'alamin" akan terasa aromanya dalam bentuk kesejahteraan umat.

Pada kesempatan ini, saya tidak ingin membahas ayat-ayat yang biasa dikutip oleh mereka yang menganggap bahwa pemimpin, mau itu presiden, gubernur, bupati, harus mewakili suara mayoritas. Sudah banyak pihak yang membahas ayat-ayat tersebut melalui kajian yang ketat dan mendalam. Ayat-ayat tersebut terlalu ambigu sekiranya dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa umat Islam tidak boleh mengambil pemimpin dari orang-orang kafir. Tapi saya tidak akan membahas ini.

Dalam Islam, pemimpin adalah seseorang yang dianggap mampu memikul amanat umat. Dikatakan dalam Qur'an, "Innallaaha ya'murukum an tuaddu al-amaanaatu ilaa ahlihaa..." artinya, sesungguhnya Allah memerintahkan kamu supaya memberikan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya.." Islam menekankan bahwa amanat umat diberikan kepada yang berhak menerimanya. Mereka yang berhak menerima amanat adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, memiliki integritas, kejujuran dan semangat untuk membangun daerah yang dipimpinnya. Masalah latar belakang agama, ras, warna kulit, suku dan lain sebagaimana bukan lah syarat yang membatasi. Sebab, setiap individu dibekali dengan potensi-potensi tersebut. Tidak mungkin kita beranggapan bahwa Tuhan pilih kasih.

Oleh karenanya, pertanyaan yang pertama kali harus diajukan dalam memilih seorang pemimpin adalah apakah dia pantas mengemban amanat umat? Apakah dia memiliki integritas, kejujuran dan semangat membangun? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi penentu masa depan suatu daerah, apakah akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan atau malah sebaliknya. Kalau ini dianggap tidak benar, untuk apa jutaan warga Syiria pindah dari tanah kelahirannya? Itu karena ulah konspirasi global Zionis kafir. Teruslah menyalahkan orang lain atas nasib diri sendiri.

Kelanjutan dari ayat di atas, "...waidzaa hakamtum baina al-naasi antahkumu bi al-'adl.." artinya, dan jika kamu menghakimi di antara manusia hendaklah kamu menghakimi dengan adil. Seorang bakal calon pemimpin haruslah dari antara orang-orang yang adil, orang-orang yang tidak pandang bulu untuk menegakkan keadilan. Bukankah kita sering mendengar kalimat klise, "Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas". Memiliki semangat keadilan sekarang-sekarang ini benar-benar langka. Dan keadilan itu bukan hak satu golongan umat saja. Di tengah kelangkaan tersebut, kita masih ribut dengan identitas keagamaan seseorang. Makhluk apa sebenarnya kita ini?

Qur'an sampai-sampai mengatakan, "..I'diluu huwa aqrabu li al-taqwaa.." artinya, berbuat adillah karena ia lebih dekat kepada ketakwaan. Kata-kata ini menunjukkan bahwa sikap adil ini adalah barang mahal seperti halnya ketakwaan. Untuk menjadi seorang muttaqi seorang mukmin harus menempuh jalan hidup yang shaleh, yang lurus juga harus tahan terhadap ujian. Begitu juga orang yang adil harus menghadapi berbagai macam godaan harta, tahta, bahkan keluarga sekalipun. Bukankah Rasulullah saw pernah bersada, "Jika Fatimah mencuri maka aku akan potong tangannya."

Keadilah tak mengenal istilah tawar-menawar sebab keadilan itu bukan bagian dari jual beli. Keadilan hanya mengenal ketegasan dalam memutuskan. Salah katakan salah, benar katakan benar. Dalam bersikap adil, ikatan apapun tidak memiliki pengaruh apapun dalam memutuskan, meski itu ikatan darah sekalipun. Bukankah perkara ini sangat sulit dilakukan? Hanya orang-orang pilihan yang bisa melakukan semua ini. Siapa mereka? Setiap orang yang memiliki keberanian untuk melakukan perubahan dan perbaikan.

Jika kita menemukan dua hal pokok yang telah diterangkan Qur'an dalam diri seorang calon pemimpin, untuk apalagi ragu memilihnya, meski ia bukan dari golongan mayoritas. Dua hal pokok itu adalah barang langka yang kemunculannya amat jarang di dunia. Sayang sekali sekiranya kita malah menyia-nyiakannya.

0 comments:

Posting Komentar

 
Toggle Footer
Top