بسم الله الر حمن الر حيم نحمده و نصلى على رسوله الكريم و على عبده المسيح الموعود
PUTRA INDONESIA YANG BAI'AT PERTAMA MASUK KE DALAM SILSILAH AHMADIYAH, Melalui Hadhrat Khalifatul Masih II raSekilas Perjalanan Seorang Zaini dahlan ke India
Penulis anonim
Penterjemah Muhammad Nurdin, Dkk
Suatu hari terdapat sebuah berita dalam surat kabar bahwa beberapa orang dari Hindustan, yang berada dalam jajahan Inggris, sukses dalam meng-Islamkan orang-orang Eropa yang berkebangsaan Inggris. Berita ini mengesankan Maulana Zaini Dahlan dan dua temannya. Dari salah seorang guru mereka di Sumatera Tawalib, mereka mendapat informasi bahwa orang Hindustan itu adalah Khawaja kamaluddin.
Sejak saat itu, Maulana Zaini Dahlan, Maulana Abu Bakar Ayub dan maulana Ahmad Nuruddin berpikir bahwa di Hindustan mungkin ada sebuah Universitas Islam yang lebih baik kualitasnya dari Al-Azhar, Mesir. Karena mereka belum pernah mendengar seorang cendekiawan Muslim dari Mesir yang dapat meng-Islamkan orang-orang Eropa. Dalam sebuah obrolan ringan, ketiga pemuda itu berencana untuk pergi bersama-sama mencari tempat dimana Khawaja kamaluddin berguru.
Setelah menyelesaikan belajar mereka di Sumatera Tawalib. Mereka meminta izin kepada orang tua mereka untuk tidak pergi ke Mesir, tetapi untuk mencari Universitas dimana Khawajah Kamaluddin memeperoleh pengetahuan.
Beruntunglah Maulana Abubakar Ayub dan Maulana Ahmad Nuruddin yang tidak mendapat kesulitan sedikitpun dari orang tua mereka. Mereka mendapat izin serta dipersiapkan dengan perbekalan yang cukup.
Malangnya, ayah Maulana Zaini Dahlan tidak memberikan izin bagi anak sulungnya yang tercinta. Anak ini sangat cerdas dan memiliki karakter yang baik. Hanya ada dua pilihan bagi Maulana Zaini Dahlan, pergi ke Mesir atau mengajar di desanya. Haji Yusuf (ayahandanya) memiliki ambisi supaya putranya tercintanya dapat menjadi seorang Ulama Besar yang akan mewariskan kemasyuran dan status yang tinggi dari almarhum Tuanku Syekh Haji Husein, kakek Maulana Zaini Dahlan yang sangat terkenal dan dihormati sehingga makannya disakralkan oleh masyarakat. Untuk menghilangkan kekecewaan putranya, Haji Yusuf membangun sebuah Madrasah untuk Maulana Zaini Dahlan supaya dia dapat menjadi kepala Madrasahnya dan dapat memimpinnya. Ketika penulis masih anak-anak, neneknya pernah menyaksikan bangunan itu dan berkata ; "Itu adalah Madrasah yang dibangun oleh kakekmu dan ditinggalkan oleh ayahmu".
Maulana Zaini Dahlan tidak tertarik mengajar di desanya. Dia tetap ingin melanjutkan sekolahnya tetapi tidak ke Mesir. Kelihatannya, ada tangan-tangan ghaib yang mengiringi hatinya dan memaksanya untuk mencari jalan lain yang penuh dengan tantangan dan kesukaran. Sungguh, takdir Tuhan mempertemukan pada sebuah yang dia tidak kenali sebelumnya. Mungkin tempat tersebut ada kaitannya dengan kesucian dan ketinggian keruhanian nenek moyangnya.
Tanpa sepengetahuan ayahnya, ia meninggalkan desanya menuju Bukit Tinggi dan kemudian bertolak menuju Medan. Karena ketidakcukupan uang untuk keberangkatannya, dia berniat untuk mencari uang dengan mengajarkan ilmu agama dan bela diri. Tidak lama setelah itu, Maulana Abu Bakar Ayub dan Maulana Ahmad Nuruddin tiba. Mereka terkejut bagaimana Maulana Zaini Dahlan pergi ke Medan terlebih dahulu, padahal mereka sepakat untuk pergi bersama-sama. Maulana Zaini Dahlan menceritakan kepada mereka bahwa alasan untuk itu adalah karena ayahnya tidak mengizinkannya untuk pergi.
Untungnya kapal yang akan mengangkut mereka berdua telah berangkat. Tiket mereka tidak bisa dipakai untuk kapal yang lain. Jika mereka ingin naik kapal yang sama, mereka harus menunggu beberapa bulan lagi. Itu mustahil karena mereka tidak punya waktu lagi.
Karena mereka berdua Memiliki banyak uang, mereka memutuskan untuk naik kapal yang lainnya dengan cara membeli tiket yang baru. Tiket mereka berdua (untuk kapal yang sebelumnya) diberikan kepada Maulana Zaini Dahlan, dia sangat senang dan gembira mendapat tiket tersebut. Maulana Abu Bakar Ayub dan Maulana Ahmad Nuruddin pun pergi meninggalkan pelabuhan belawan.
TINGGAL DI PENANG
Beberapa bulan kemudian, Maulana Zaini Dahlan menerima surat dari Maulana Abu bakar Ayub dimana beliau menceritakan ketibaannya di Lucnow dan menemukan Universitas Islam. Kemudian kapal yang ditunggu-tunggu tiba dan Maulana Zaini Dahlan naik tanpa masalah. Di tengah perjalanan ada pemeriksaan tiket, ternyata tiket tersebut sudah tidak berlaku lagi karena tidak ada rekomendasi penundaan perjalanan. Kapten kapal menyuruh agar turun di Penang (Malaysia). Tanpa rasa sedih kecewa, dia menapaki jalan-jalan di penang. Tiba-tiba dia melihat sebuah rumah makan minang. Dia sangat gembira, karena menurut adat Minang, seorang perantau dari Minang dapat bermalam untuk sesaat di rumah makan yang dia temukan. Jika dia tidak memiliki uang dan pembekalan sedikitpun, pemilik rumah makan dapat memberikan sedikit hutang. Beliau masuk kedalamnya dan menemukan sang pemilik rumah makan yang yang dengan senang menerimanya sebagai seorang pelanggan baru dan mengajaknya menginap.
Setelah tiga hari, sang pemilik merasa aneh karena tamunya tidak pernah turun untuk makan. Dia memutuskan untuk menemuinya. Pikir si pemilik rumah makan dia sakit. Ternyata, dia melihat Maulana Zaini Dahlan dengan raut wajah yang pucat dan tubuhnya bergetar-getar seakan-akan sedang menderita sakit keras.
"Mengapa kamu tidak turun ke bawah ? tanya si pemilik rumah. Apakah kamu sakit ?. Tidak, Jawabnya. Kamu lapar ?. Ya.
Si pemilik rumah makan menyuruh seorang pelayan membawakannya makanan. Usai makan, Pria itu bertanya kepada Zaini Dahlan.
Mengapa kamu tidak turun ke bawah untuk makan ?. Aku tidak punya uang. Jika aku berhutang padamu, aku takut tidak bisa membayarnya.
Darimana kamu berasal ?. Kemudian Maulana Zaini Dahlan menceritakan semua perjalanannya. Juga, dia menceritakan kepadanya mengenai ayahandanya dan kakeknya. Pria itu heran bagaimana anak dari seorang yang sangat kaya mendapat masalah dan terdampar di Penang ?.
Karena Maulana Zaini Dahlan tidak berani mengirim surat kepada ayahnya, pria itu memutuskan untuk melakukannya sendiri. Dia menulis kepada Haji Yusuf di bukit Tinggi. Haji Yusuf sangat terkejut mengetahui putranya berada di Penang dan terdampar di negeri orang. Dia sangat sedih dan menyalahkan dirinya sendiri. Dia tidak tahu seberapa kuat kemauan Maulana Zaini Dahlan. Dia berpikir jika hal itu benar, maka apa yang diinginkan anaknya mungkin benar. Dia tidak punya pilihan lain selain menolong anak semata wayangnya dan mendo'akannya. Ayahnya mengirim uang sebanyak 100 ringgit dengan sebuah pesan kepada anaknya tercinta ; 'Mungkin uang ini karunia untukmu demi meraih apa yang engkau inginkan dalam mencari jalan Tuhan. Jika apa yang kau inginkan salah, aku akan meminta kembali uang ini bahkan jika perlu dirimu'.
Setelah menerima uang tersebut, Maulana Zaini Dahlan mulai berpikir dan berencana memakai untuk perjalanannya. Untungnya, terdapat kereta api dari Penang menuju Lucknow. Tetapi perjalanannya sangat jauh dan tidak menentu. Muncul dibenaknya kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya dan tidak mungkin dia meminta uang lagi kepada ayahandanya.
Jalan terbaik adalah menghemat uangnya. Untuk ini, dia mengambil sebongkah batu bara kereta api. Sangat sulit membayangkan bagaimana sebuah perjalanan yang menempuh jarak ribuaan mil dalam sebuah gerbong terbuka dan duduk didekat tukang rem kereta.
Datang di Hindustan
Ketika tiba di Lucknow, dia mencari alamat kedua sahabatnya. Ketika mereka bertemu, maulana Abu bakar Ayub dan Maulana Ahmad Nuruddin sangat terkejut melihat tubuh dan pakaiannya. Tubuhnya sangat kurus, pakaiannya hitam dan kotor akibat debu batu bara.
Ketika dia akan mandi, dia mengambil beberapa pakaian dari kopernya. Tanpa disengaja dari saku celananya dipenuhi dengan foto-fotonya.
Universitas di Lucknow memiliki sebuah bangunan yang cukup besar dan mewah. Maulana Zaini Dahlan bertanya kepada sahabatnya ; 'Mengapa kalian belajar disini ? Terpisah jauh dari desa kita hanya mencari sekolah macam ini. Tidaklah kalian sepakat untuk mencari sebuah sekolah yang lebih baik dari Tawalib ?. Mereka menjawab ; 'kamu salah. Kita tinggal di sini hanya untuk menunggu kedatanganmu. Kita sedang mencoba mencari tempat yang kita inginkan, tetapi kita lebih baik bersabar.
Mencari Khawaja kamaluddin
Suatu hari mereka bertanya kepada guru mereka, dimana alamat Khawaja Kamaluddin. Mendengar pertanyaan ini, guru itu menatap dengan mata menyalak dan mengutuk dengan marahnya ; 'Dajal, Kafir, Sesat ! Kalian tidak boleh pergi kesana, kalian lebih baik melanjutkan studi kalian ke Mesir. Biaya hidup kalian dalam masa belajar akan kami tanggung. Mereka menjawab ; biaya hidup tidak jadi masalah, karena oramg tua kami bisa menanggung semuanya. Tujuan kami berbeda. Jika kami berniat untuk pergi kemesir, sungguh kami dapat pergi tanpa menyusahkan diri kami dengan datang kesini. Mendengar penjelasan ini, guru tersebut tidak dapat melakukan apapun lagi, kecuali menggelengkan kepala.
Mereka pergi ke Lahore dengan kereta. Di stasiun Lahore, mereka menghadapi sebuah masalah, yakni bahasa karena sangat sulit untuk menemukan orang yang mengerti bahasa Arab. Orang-orang hanya mengerti bahasa Urdu, Hindu dan Inggris. Di antara mereka bertiga hanya Abu Bakar Ayyub yang bisa berbicara bahasa Inggris meski sedikit.
Mereka bingung karena tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan mereka. Tak sengaja, kata 'Khawaja Kamaluddin' terdengar oleh seorang pengendara delman. Dalam bahasanya, si pengendara berteriak ; "Khawaja Kamaluddin, Khawaja Kamaluddin' dan memberikan beberapa isyarat yang mengatakan kepada mereka untuk naik ke dalam keretanya. Melihat tindakan yang dilakukan oleh si pengendara, Maulana Zaini Dahlan menyarankan untuk percaya padanya, Alhamdulillah mereka ditemani oleh si pengendara delman pergi ke rumah Khawaja Kamaluddin.
Mereka diterima oleh putera Khawaja Kamaluddin, karena Khawaja kamaluddin masih di London. Para pemuda ini ditangani oleh Anjuman Ahmadiyah Lahore. Setelah mengetahui tujuan kedatangan mereka, putera Khawaja Kamaluddin menceritakan kepada mereka bahwa sekolah Islam yang mereka cari tidak ada di sini. Khawajah Kamaluddin hanya membuka sebuah kursus bahasa Inggris disebabkan oleh fakta bahwa orang-orang India dijajah oleh Inggris. Anjuman menawarkan kepada mereka untuk belajar ajaran Islam dengan metode private dibawah bimbingan seorang guru. Guru tersebut sangat fasih dalam bahasa Arab dan ahli mengenai Al-Qur'an. Selama pendidikan, biaya khusus, tinggal dan makan ditanggung oleh Anjuman. Mereka gembira dan memuji guru ini. Mereka lupa ambisi mereka untuk mencari sekolah tinggi.
Guru agama ini mengajarkan mereka pandangan kematian Nabi Isa as, kedatangan seorang Mujaddid agung dan pentingnya untuk beriman dan bai'at. Dalam suatu diskusi, sebuah debat sengit terjadi antara guru mereka mengenai kematian Nabi Isa as. Mereka menulis kepada guru mereka di Tawalib untuk menjawab masalah tersebut, tetapi tidak ada balasan.
Setelah belajar beberapa bulan, Maulana Zaini Dahlan (suatu ketika) sedang bersantai dan membuka sebuah buku Malvi kemudian tiba-tiba beliau menemukan sebuah wahyu Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as merupakan seorang Nabi dan Rasul Tuhan. Ketika ditanyakan kepada guru Beliau mengenai wahyu ini, guru tersebut tidak menjawab malahan mengajak 3 orang muridnya untuk datang ke lapangan bola setelah shalat Ashar.
Guru tersebut membalikkan mukanya kesana dan kesini sebelum menjelaskan jawabannya. Beliau mengatakan bahwa beliau asli dari Qadian dan merupakan salah satu pengikut Hadhrat Masih Mau'ud as. Beliau mengikuti Khawaja Kamaluddin disebabkan oleh kemiskinannya. Dikatakan juga bahwa Kawaja Khamaluddin menolak Khalifatul Masih II ra dan memisahkan diri dari Markaz Jemaat di Qadian.
Beliau as juga menjelaskan bahwa Khawaja Kamaluddin dan para pengikutnya pertama-tama percaya pada Hadhrat Masih Mau'ud as dan berbai'at di tangan Khalifah Masih I. Pada saat pemilihan Hadhrat Khalifatul masih II ra, mereka menolak hasil (pemilihan). Dengan merubah haluan, mereka menduga Khalifatul Masih II telah bersaing untuk jabatan tersebut.
Mauvi yang miskin ini bekerja di Anuman Ahmadiyah Lahore hanya dikarenakan oleh masalah ekonominya.
Pada saat itu, beliau memberikan informasi yang lengkap tentang Qadian, sekolah yang mereka harapkan dan rute perjalanan yang hendak mereka ambil.
Ketika mereka hendak berangkat, pegawai Anjuman Lahore tidak mengizinkan mereka dan mengajak mereka untuk tetap tinggal dan belajar di Lahore. Mereka menolak tawaran ini dan bersikeras dengan kemauannya mereka mengatakan bahwa mereka tidak bermaksud untuk masuk ke kursus private tetapi belajar diperguruan tinggi. Akhirnya para pegawai tersebut tidak bisa melakukan apa-apa, (hanya) membiarkan mereka pergi. Kelihatannya, kedatangan mahasiswa-mahasiswa ini yang digunakan untuk pergerakan mereka (Jemaat Ahmadiyah Lahore). Bukanlah tidak mungkin mereka memiliki niat untuk menjadikan mahasiswa-mahasiswa ini sebagai mualim bagi Ahmadiyah lahore di Indonesia.
Berangkat Ke Qadian
Berdasarkan arahan dari guru mereka di Lahore, ketiga pemuda tersebut berangkat ke Qadian dengan kereta api. Mereka turun di stasiun Batala ketika kereta belum sampai di Qadian. Mereka melanjutkan perjalanan mereka yang ditarik seekor kuda.
Kondisi jalan antara Batala dan Qadian sangat jelek dengan banyak lubang dan berlumpur karena hujan. Mereka tidak tahan dengan kondisi seperti itu dan akhirnya mereka turun dan mulai berjalan kaki. Hanya ada tas koper dan perlengkapan lainnya diatas kereta itu, perjalanan itu masih cukup panjang.
Ketika berjalan, mereka salang mengobrol. Salah satu mereka berkata ; 'Mungkinkah ada perguruan tinggi di daerah seperti ini bahkan kondisi jalannya buruk seperti ini ? Zaini Dahlan menjawab, 'Oh ayo ! terus saja kita akan lihat nanti'.
Mereka melewati sebuah kampung yang sangat kotor yang dihuni oleh pada Sudra yang dianggap sebagai penghuni derajat terendah dalam agama Hindu. Orang-orang itu sangat kotor dan jorok. Mereka mengeluk lagi. Tetapi karena bimbingan guru mereka yang masih teringat, maka mereka mencoba untuk terus berjalan.
Setelah beberapa mil, dari jauh terlihat Minaratul Masih. Hal ini membuat mereka nyaman, ketika memasuki Qadian, mereka terkesan dengan kebersihan dan keindahannya. Qadian ditata sedemikian rupa sehingga tampak sangat rapi, tertata sehingga tampak sangat rapi, tertata dengan baik dan sangat cocok sekali berbeda dari kampung-kampung yang berantakan di sekitarnya.
Mereka sampai di Qadian pada malam hari. Kedatangan mereka diberitahukan ke Khalifatul Masih II setelah Shalat Zhuhur pada hari berikutnya. Juga diberitahukan bahwa mereka hendak bertemu Hudhur ra. Hudhur ra bisa menerima mereka setelah Shalat Ashar.
Hudhur ra sedang duduk-duduk di samping mihrab ketika Zaini Dahlan melihat Beliau untuk pertama kali. Beliau terkesan dengan pancaran sinar wajah suci hudhur, sesuai dengan karakter utusan Allah Ta'ala yang telah Beliau pelajari dari buku-buku keagamaan.
PAM- mubarak
0 comments:
Posting Komentar